Sabtu, 19 Mei 2012

Jejak Kasus Gayus HP Tambunan (1)


Kasus mafia pajak tak bisa lepas dari kasus Gayus. Alumnus STAN tahun 2000 ini memang sosok yang sensasional walau hanya berpangkat III/a dengan jabatan penelaah keberatan kantor pusat Ditjen Pajak. Kasusnya bagai sebuah miniseri misteri. Berikut jejak kasusnya :
Episode pertama
Berawal temuan PPATK adanya transaksi mencurigakan di rekening Bank Panin dan BCA atas nama Gayus  HP Tambunan sebesar Rp. 25 milyar. Temuan ini dilaporkan ke Bareskrim. Penyelidikan dimulai. Tanggal 7 Oktober 2009,  penyidik Bareskrim menetapkan Gayus sebagai tersangka. Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)  dikirim ke Kejaksaan Agung. Gayus dijerat pasal money laundry, tindak pidana korupsi dan penggelapan. Pihak Kejagung menunjuk Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia dan Ika Syafitri untuk melakukan penelitian. Selama penyidikan Gayus tidak ditahan tapi rekeningnya diblokir.
Tapi setelah perkara ini ditangan kejaksaan dan dilimpahkan ke pengadilan, Gayus hanya dijerat atas pasal penggelapan. Itupun hanya senilai Rp. 395 juta atas rekening Gayus di BCA. Uang itu berasal dari PT. Megah Cipta Jaya Garmindo ( MCJG ) sebesar Rp. 370 juta dan Robertus Antonius ( konsultan pajak ) Rp. 25 juta.
Dengan surat nomor : R/805/XI/2009/ Bareskrim tertanggal 26 November 2009 yang ditandatangani Brigjen Raja Erizman,  blokir rekening di Bank Panin dibuka. Uang Rp. 24,6 milyar mengalir. Dua hari sebelumnya Susno Djuaji dicopot dari jabatannnya sebagai Kepala Bareskrim karena tekanan publik dalam kasus cicak vs buaya ( KPK vs Polri )/
Tanggal 13 Januari 2010, Gayus mulai disidangkan di PN Tangerang. Selama tiga bulan masa persidangan itu, pengadilan mendengarkan 15 orang saksi. Hasilnya, Hakim Ketua Muhtadi Asnun beserta Haran Tarigan dan Bambang Widiatmoko sebagai hakim anggota memutus bebas Gayus. Sebab kasus penggelapan adalah delik aduan dan pengadunya tak ada. PT. MCJG sudah bubar, pemiliknya Mr. Son tidak diketahui keberadaannya.
Tak lama kemudian, Susno Djuaji mantan Kabareskrim membongkar skandal ini. Susno menuding mantan bawahannya merekayasa kasus ini.  Tudingan mengarah Direktur Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Brigjen Raja Erizman dan bekas Direktur Ekonomi Khusus Brigjen Edmon Ilyas. Sontak mereka membatah menerima uang atas kasus ini. Para jaksa dan hakim pun ikut membantah. Raja Erizman malah menuduh Susno, maling teriak maling. Divisi Profesi dan Keamanan pun melakukan pemeriksaan kepada polisi yang menangani kasus ini. Sementara Diretorat KITSDA memeriksa Gayus dan atasannya di Derektorat Keberatan dan Banding. Komisi Yudisial juga memeriksa para hakim. Pihak kejaksaan belum bersikap atas kasus ini.  Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ( Satgas ) ikut turun tangan ikut menangani kasus ini. Beredar khabar Gayus memperoleh uang itu dari praktek markus di pengadilan pajak karena posisinya sebagai pembuat risalah banding. Terungkap total uang Gayus sebesar Rp. 28 milyar di 21 rekening bank. Juga rumah mewah di real estate daerah Kelapa Gading dan apartemen milik Gayus.
Episode kedua
Kehebohan terjadi. Tanggal 24 Maret 2010, Gayus “ lari” ke Singapura. Satgas dan Kabareskrim pun terbang ke Singapura “mengejar” Gayus. Akhirnya Gayus kembali bersama tim Satgas. Beredar video rekaman pertemuan Gayus dan Kabareskrim di Singapura. Terdengar pembicaraan tentang skenario pemulangan Gayus dan keterlibatan perusahaan Bakrie dalam aliran uang Gayus.
Polri  mencopot jabatan Brigjen Raja Erizman dan Brigjen Edmon Ilyas. Sedangkan penyidik Bareskim Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini dinyatakan sebagai tersangka.
Dirjen Pajak juga mencopot Bambang Heru Ismiarso sebagai Direktur Keberatan dan Banding I dan sejumlah bawahannnya. Gayus pun dipecat. Sejumlah pejabat pajak dimutasi.
Polri membentuk tim independen yang dipimpin Irjen Mathius Salempang untuk menyidik ulang kasus ini. Gayus didampingi pengacara senior Adnan Buyung. Terungkap sejumlah rekayasa kasus Gayus  yang diatur Haposan Hutagalung, mantan pengacara Gayus dan asal-usul uangnya, antara lain :
-          Rekayasa perjanjian bisnis dengan pengusaha bernama, Andi Kosasih tentang fee dari pengadaan tanah yang awalnya diaku Gayus sebagai sumber uangnya.
-          Pemberian uang kepada penyidik agar Gayus  tidak ditahan dan juga proses pemeriksaan yang dilakukan di sebuah hotel.
-          Status Rebertus Antonius ( konsultan pajak ) sebagai salah satu sumber aliran uang Gayus, yang awalnya tersangka, akhirnya menjadi saksi.
-          Pembocoran rencana tuntutan ( rentut ) oleh Jaksa Cirus Sinaga. Rentut dirubah setelah Gayus memberi uang kepada Haposan untuk aparat kejaksaan
-           Pemberian uang kepada Hakim Asnun agar hukumannya diperingan.
-          Gayus mengaku mendapat “order” dari Alif Kuncoro ( pengusaha bengkel ) untuk mengeluarkan SKPKB, PT. Kaltim Prima Coal ( KPC ) untuk tahun 2000, 2001, 2002, 2003 dan 2005 yang ditahan kantor pajak karena ada permasahan selisih kurs. Gayus sering “nongkrong” di bengkel Alif yang disebutnya pengusaha “palugada” ( apa lu minta gue ada ). Alif sendiri mendapat order ini dari adiknya Imam Cahyo Maliki, seorang konsultan pajak.  Atas bantuan Maruli Pandopotan, mantan atasan Gayus dibentuk tim dari Direktorat Jenderal Pajak untuk selesaikan kasus ini.
-          Sukses order pertama, Gayus mendapat order berikutnya yaitu membantu membuat surat banding dan bantahannya untuk PT Bumi Resources dan membuat pembetulan laporan pajak untuk PT. BUMI dan PT. Arutmin dalam rangka sunset policy.
Sementara dari pemeriksaan Alif, Kuncoro, Kompol Arafat, AKP Sri Sumartini, Alif Kuncoro dan Haposan Hutagulung diperoleh keterangan antara lain :
-          Alif Kuncoro menyuap Kompol Arafat dengan sebuah Harley Davidson seharga Rp 410 juta. Hal itu dilakukan agar adik Alif, Imam Cahyo Maliki, tidak dijadikan tersangka dan tidak ditahan oleh penyidik Mabes Polri. Imam Cahyo adalah saksi kunci aliran uang Group Bakrie pada Gayus. Hingga kini Imam berstatus buronan.
-          Menurut Kompol Arafat, Haposan menyerahkan US$ 50 ribu kepada Kombes Pambudi Pamungkas agar Gayus tidak ditahan. Tapi Kombes Pambudi minta uang lebih karena harus berbagi dengan atasannya Brigjen Edmon Ilyas. Akhinya diserahkan uang US$ 100.000. Arafat mendapat jatah 20 juta. Dia juga mendapat uang 35 juta dari Haposan agar tidak menyita rumah Gayus.
-          Arafat diundang Sri Sumartini bertemu jaksa Cirus dan Fadil di Hotel Kristal. Saat itu Cirus menyarankan agar ditambahkan pasal penggelapan agar kasus ini menjadi pidana umum bukan pidana khusus. 
Pada 10 Juni 2010, polisi menetapkan Cirus Sinaga dan Poltak Manurung sebagai tersangka tapi hal itu lantas diralat.Cirus dan Poltak dinyatakan hanya sebagai saksi.
Episode ketiga
Tanggal 8 September 2010, Gayus untuk kedua kalinya diadili. Dia dijerat dengan empat dakwaan :
 Pertama, Pasal 3 Jo Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi.  Gayus telah merugikan keuangan negara sebesar RP 570.952.000, terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal Sidoarjo. Perbuatan ini Gayus lakukan dengan Maruli Padopotan,   Humala SL Napitupulu, Johny Marihot Tobing dan Bambang Heru
Kedua, Pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang tindak pidana korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1. Gayus dan Haposan menyuap penyidik Mabes Polri M. Arafat Enanie dan Sri Sumartini.
Ketiga, Pasal 6 ayat 1 undang-undang tindak pidana korupsi karena memberikan uang sebesar 40.000 dolar AS kepada Hakim Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang.
Keempat, Pasal 22 Jo pasal 28 undang-undang tindak pidana korupsi. Gayus dan Andi Kosasih  telah dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan dengan tujuan mengelabuhi asal usul uangnya.

Terdakwa lain dalam kasus ini adalah Kompol Arafat, AKP Sri Sumartini,  Haposan Hutagalung, Andi Kosasih, Alif Kuncoro dan  Hakim Asnun. Sementara aparat pajak lain yang menjadi tersangka adalah Maruli Padopotan dan Humala Napitupulu.
Dibawah tekanan media, pada 8 November 2010, jaksa Cirus Sinaga dinyatakan sebagai tersangka pemalsuan dan pembocoran   rencana tuntutan ( rentut ) . Isi tuntutan untuk Gayus adalah pidana setahun, tapi Cirus diduga membuat rentut palsu  tuntutan hukuman pidana setahun penjara dengan masa percobaan setahun untuk “menekan” Gayus melalui Haposan.
Satgas dan PPATK  mengungkap jika Gayus masih memiliki safe deposit aset lain.
Polisi melakukan  penyitaan aset Gayus senilai hampir Rp. 87 milyar, terdiri  :
-          saham elektronik trading salah satu perusahaan sebanyak 15.188.000 lembar dengan nilai sekitar Rp 7 miliar dan saham lainnya sebanyak 17.438.091 lembar di BEJ
-          Uang tunai  USD 56.096 di BRI dan senilai USD 2.972 di Bank Mandiri.
-          Deposito rupiah Rp 500.9997.260 di CIMB Niaga dan Rp 500 juta di Bank Mandiri.
-          Tabungan rupiah Rp 311.270.735 dan senilai Rp 129.661.172 di Bank Mandiri.
-          Rekening atas nama Milana istri Gayus dengan nominal Rp.125. 107.806 di CIMB Niaga dan 1.3 miliar di BII.
-          Satu unit tanah rumah dan bangunan di Kelapa Gading.
-          Safe Deposit Box berisi USD 659.800 dan uang dalam dolar Singapura senilai Rp 9.000.680 dolar. Turut disita juga 31 batang logam mulia masing-masing seberat 100 gram. Total diperkirakan senilai Rp 74 miliar.
Anwar Supriyadi, Ketua Komite Pengawas Pajak meminta Ditjen Pajak segera memeriksa ulang ketiga perusahaan Group Bakrie yang diduga menyuap Gayus tanpa menunggu putusan hakim. Tapi Ditjen Pajak saat itu, M Tiptarjo menolak beralasan belum ada novum ( bukti baru ) sebagai dasar pemeriksaan ulang guna menerbitkan  Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ( SKPKBT ).
Polisi mengaku kesulitan melacak asal-usul harta Gayus. Para penyuap Gayus berpeluang lolos dari jerat hukum.

Kamis, 16 Februari 2012

Kasus-kasus Hukum Besar di Bidang Perpajakan II


Sejumlah kasus hukum lain di bidang perpajakan yang mendapat sorotan media massa nasional adalah sbb :

1.        Nyanyian Tax Manager
Diakhir tahun 2006, Vincentius Amin Sutanto, top executive Finacial Controller Asian Agri bersama dua rekannya membobol rekening Asian Agri di Bank Fortis Singapura sebesar US$ 3,1 juta. Asian Agri adalah perusahaan milik Sukanto Tanoto, orang terkaya di Indonesia saat itu. Belum sempat uang dicairkan aksinya tercium. Vincent lantas kabur ke Singapura.
Dia mencoba meminta ampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Dalam pelariannya Vincent membawa data manipulasi pajak Asian Agri, maklum dia salah satu tax planning perusahaan itu. Vincent lantas menghubungi pihak Majalah Tempo. Wartawan Majalah Tempo menemuinya di Singapura, Vincent pun menjelaskan data indikasi manipulasi pajak Asian Agri lebih dari 1 trilyun rupiah. Pihak Majalah Tempo menghubungi KPK. Vincent dijemput pejabat KPK untuk pulang ke Indonesia.  Ternyata Polda Metro Jaya melacak keberadaan Vincent dan meminta KPK menyerahkan Vincent. Akhirnya Vincent pun diserahkan walau tanpa didampingi pengacara. Dirjen Pajak yang mendapat laporan kasus ini segera memerintahkan penyidikan kasus ini. Januari 2007, seiring laporan investigasi Tempo, kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan digrebek penyidik pajak. Sayang sejumlah besar data sudah tidak ditemukan. Tiga bulan kemudian penyidik pajak menemukan 1400 boks data yang lenyap di  ruko kawasan Duta Merlin. Total data yang disita 9 truk. Terungkap ada indikasi manipulasi pajak Rp. 1,3 trilyun. Dia mencoba meminta ampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Dalam pelariannya Vincent membawa data manipulasi pajak Asian Agri, maklum dia salah satu tax planning perusahaan itu. Vincent lantas menghubungi pihak Majalah Tempo. Wartawan Majalah Tempo menemuinya di Singapura, Vincent pun menjelaskan data indikasi manipulasi pajak Asian Agri lebih dari 1 trilyun rupiah. Pihak Majalah Tempo menghubungi KPK. Vincent dijemput pejabat KPK untuk pulang ke Indonesia.  Ternyata Polda Metro Jaya melacak keberadaan Vincent dan meminta KPK menyerahkan Vincent. Akhirnya Vincent pun diserahkan walau tanpa didampingi pengacara. Dirjen Pajak yang mendapat laporan kasus ini segera memerintahkan penyidikan kasus ini. Januari 2007, seiring laporan investigasi Tempo, kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan digrebek penyidik pajak. Sayang sejumlah besar data sudah tidak ditemukan. Tiga bulan kemudian penyidik pajak menemukan 1400 boks data yang lenyap di  ruko kawasan Duta Merlin. Total data yang disita 9 truk. Terungkap ada indikasi manipulasi pajak Rp. 1,3 trilyun. Sayang proses hukum kasus ini berlarut-larut. Terdakwa dalam kasus ini Suwir Laut ( top executive Asian Agri ) pada tanggal 21 Mei 2011 dinyatakan bebas demi hukum karena masa penahanannya habis.

2.        Serangan untuk Bakrie
Bermula dari kenaikan laba PT. Bumi Resources pada tahun 2007 hingga 42%,  akibat kenaikan harga batu bara dan pemangkasan biasa produksi. Tahun 2008, Ditjen pajak melakukan pemeriksaan dan ditemukan dugaan rekayasa pajak sebesar Rp. 2,1 trilyun atas tiga perusaahan Bakrie . Mereka terdiri dari PT Kaltim Prima Coal ( KPC ) sebesar  Rp 1,5 triliun,  PT Arutmin Indonesia sebesar US$ 30,9 juta dan PT. Bumi sebesar Rp. 376 milyar.
Tanggal 4 Maret 2009, diterbikan Surat Perintah Bukti Permulaan. Pemeriksaan pajak pun ditingkatkan ke tahap penyidikan. KPC lantas menggugat surat perintah bukti permulaan tersebut. Rebertus Bismark, akuntan PT. KPC , dicekal. Pihak PT. KPC lantas menyetor pajak Rp. 828 milyar dan PT. Arutmin US$ 27,5 juta. Penyidikan atas KPC dan PT. Bumi terus berlanjut. Sementara untuk PT. Arutmin baru ditemukan bukti permulaan.
Pengadilan Pajak pada tanggal 8 Desember 2009 membatalkan surat perintah bukti permulaan. Ditjen pajak ajukan peninjauan kembali ( PK ) atas putusan ini ke MA. Penyidikan pajak tetap dilanjutkan. KPC mengugat Ditjen Pajak karena tak patuh pada putusan pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan ini. Ditjen Pajak menawarkan penghentian penyidikan asal mereka mau bayar pajak dan denda 400%.
Aroma politis pun berhembus karena saat itu Sri Mulyani berseteru dengan Abu Rizal Bakrie mulai dari kasus suspend  penjualan saham PT. Bumi di bursa saham hingga kasus Bank Century. Kasus pajak ini membuat Bakrie menunda rencana konversi utang menjadi saham yang diperkirakan bakal mendongkrak harga saham perusahaan Group Bakrie.

3.        Serangan untuk Sri Mulyani
Setelah Pansus Hak Angket Century merekomendasikan adanya dugaan penyelewengan dalam  bail out Bank Century, Menkeu Sri Mulyani tak habis mendapat serangan. Pasca serangan kasus Gayus, kini ia dituduh terlibat penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ( SKPP ) atas kasus manipulasi pajak Paulus Tumewu , pimpinan Ramayana Group. Tuduhan ini dilontarkan Sasmito Hadinagoro, Sekjen APPI ( Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia ) dalam rapat dengan komisi III di DPR.
Kasus Paulus Tumewu bermula pada tanggal 31 Agustus 2005, Polri dan Ditjen Pajak menahannya karena memanipulasi pajak dengan cara mengecilkan omzet Ramayana dan mengisi SPT tidak benar. Negara diduga dirugikan Rp. 399 milyar. Meskipun kasus ini telah dinyatakan lengkap untuk disidangkan ( P21 ) tapi atas permintaan Menkeu kasus ini dihentikan. Ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU KUP syaratnya wajib pajak harus membayar denda 400%. Tapi pertanyaan muncul karena SKPP diberikan karena Paulus Tumewu hanya membayar tunggakan pajak Rp. 7,99 milyar dan denda 400%. Padahal seharusnya membayar Rp. 399 milyar dan denda Rp. 1,6 trilyun. Hadi Purnomo yang saat itu menjabat Dirjen Pajak membatah keterlibatannnya karena SKPP wewenang Biro Hukum KemenkeuSetelah Pansus Hak Angket Century merekomendasikan adanya dugaan penyelewengan dalam  bail out Bank Century, Menkeu Sri Mulyani tak habis mendapat serangan. Pasca serangan kasus Gayus, kini ia dituduh terlibat penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ( SKPP ) atas kasus manipulasi pajak Paulus Tumewu , pimpinan Ramayana Group. Tuduhan ini dilontarkan Sasmito Hadinagoro, Sekjen APPI ( Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia ) dalam rapat dengan komisi III di DPR.
Kasus Paulus Tumewu bermula pada tanggal 31 Agustus 2005, Polri dan Ditjen Pajak menahannya karena memanipulasi pajak dengan cara mengecilkan omzet Ramayana dan mengisi SPT tidak benar. Negara diduga dirugikan Rp. 399 milyar. Meskipun kasus ini telah dinyatakan lengkap untuk disidangkan ( P21 ) tapi atas permintaan Menkeu kasus ini dihentikan. Ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU KUP syaratnya wajib pajak harus membayar denda 400%. Tapi pertanyaan muncul karena SKPP diberikan karena Paulus Tumewu hanya membayar tunggakan pajak Rp. 7,99 milyar dan denda 400%. Padahal seharusnya membayar Rp. 399 milyar dan denda Rp. 1,6 trilyun. Hadi Purnomo yang saat itu menjabat Dirjen Pajak membatah keterlibatannnya karena SKPP wewenang Biro Hukum Kemenkeu. Nama Fadel Muhammad , politisi Golkar yang saat itu Gubernur Goroltalo juga disebut-sebut dalam kasus karena memberikan surat “rekomendasi” jika Paulus T adalah pengusaha yang punya track record baik.

4.        Gebrakan KPK
Pada Januari 2010, KPK menahan Kakanwil Sulsel Edi Setiadi dalam kasus suap dari  Umar Sjarifudin Dirut PT. Bank Jabar. Eddi saat menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bandung  menerima gratifikasi Rp 2,55 miliar dari Umar Sjarifudin sebagai imbalan atas pengurangan jumlah pajak kurang bayar Bank Jabar tahun buku 2002. Dari seharusnya Rp. 51,80 milyar menjadi Rp. 7,27 milyar.
Empat bawahan Eddi yang juga menikmati gratifikasi itu juga di ajukan ke pengadilan. Mereka adalah Roy Yuliandri (Ketua Tim), Dedy Suwardi (Supervisor) dan Muhammad Yazid (Anggota).
Eddi Setiadi dikenal sebagai pejabat pajak dengan banyak prestasi di bidang penyidikan pajak. Kasus yang diungkap diantaranya kasus faktur pajak fiktif di Tebet, Jakarta senilai 55 milyar dengan tersangka Abdul Chalik dan kasus serupa di Solo dengan tersangka HW, pengusaha asal Mojokerto.
Eddi Setiadi adalah pejabat pajak eselon II pertama yang pernah diadili, sebelumnya sejumlah pejabat menengah dan tinggi selalu tak tersentuh hokum.

5.        Kasus faktur fiktif lagi
Beberapa hari menjelang lengser, Sri Mulyani menggelar konfrensi press. Ini berkaitan dengan skandal faktur pajak fiktif senilai Rp. 607 milyar. Skandal ini dilakukan oleh Group PHS senilai Rp. 300 milyar, konsultan pajak tidak resmi berinisial SOL sebesar Rp. 247 milyar dan biro jasa berinisial W dipimpin oleh TKB dengan nilai sebesar Rp. 60 milyar. Ketiga skandal ini telah masuk tahap penyidikan pajak.
Pernyataan ini lantas dibantah oleh Group PHS. Melalui pengacaranya, mereka malah mengkalim punya tunggakan restitusi pajak sebesar Rp. 530 milyar selama tiga tahun yang hingga kini belum cair. Setelah Sri Mulyani lengser, kasus ini sempat dibawa PHS ke DPR. Hingga kini belum ada khabar penyelesaiannya secara tuntas.

6.        Bisnis sukses ala Bahasyim
Bermula dari temuan transaksi mencurigakan pada Maret 2009 oleh PPATK tentang aliran dana sebesar Rp. 64 milyar di rekening Bahasyim Assyifie, seorang pejabat eselon II di Bapenas. Bahsyim masuk Bapenas Mei 2008, sebelumnya adalah pejabat eselon III di Ditjen Pajak. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, KPP Jakarta Palmerah dan KPP Jakarta Koja.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Mabes Polri, tapi penyelidikannya terhenti tanpa alasan yang jelas. Saat kasus Gayus meledak, kasus ini dilaporkan Satgas Pemberantara Mafia Hukum ke presiden. Muncul tudingan balik kepada Susno mempetieskannya, karena saat itu dia menjabat Kabareskrim. Kasus ini pun lantas diserahkan kepada Polda Metro Jaya.[e1] . Bahasyim dijadikan terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang. Berdasarkan penyidikan lebih lanjut ditemukan transaksi tidak wajar ( mutasi rekening ) sebesar Rp. 932 milyar. Bahsyim lewat pengacaranya membantah jika uang ini hasil korupsi tapi adalah hasil bisnis sampingan. Memang sebagian besar transaksi itu ditemukan di rekening PT. Tri Dharma Perkasa milik keluarga Bahasyim dan rekening istri serta anaknya. Tapi Suminarto Basuki, mantan atasannya dalam kesaksiannya mengaku jika tak tahu bawahnnya memiliki bisnis sampingan. Sementara Amrizaman mantan atasan Bahsyim tahun 2007-2008, memberikan kesaksian meringankan dengan menyatakan Bahsyim memiliki kinerja baik.
Bahsyim dituntut 15 tahun penjara dan akhirnya divonis 7 tahun penjara. Dalam persidangan tidak diungkap dengan gamblang asal aliran dana dan kemana mengalirnya dana tersebut. Jaksa hanya mengungkap asal uang sebesar Rp. 1 milyar dari “memeras “ Konglomerat Kartini Mulyadi.

 [e1]Walau ini bersumber dari detik.com tapi setelah saya teliti kurang valid.

Sabtu, 07 Januari 2012

Kasus-kasus Hukum Besar di Bidang Perpajakan I


Sejumlah kasus hukum di bidang perpajakan yang mendapat sorotan media massa nasional adalah sbb :

1.        Vonis bebas Delip dkk.
Tanggal 21 Maret 1994, Hakim PN Surabaya Sarwono memvonis bebas Delip, terdakwa kasus restitusi fiktif sebesar Rp. 900 juta. Vonis ini langsung menjadi sorotan media massa. Apalagi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Martoyo terang-terang menuduh hakim Sarwono telah disuap mobil corona absolute senilai Rp. 93 juta bernomor cantik L 25 SR  ( singkatan dari nama Sarwono ). Sebelumnya PN Surabaya juga memvonis bebas Helmy Nazar Machfud dan Soegiato alias A Keng dalam kasus yang sama. Helmy dituduh membobol restitusi pajak senilai Rp. 3,9 milyar sementara A Keng sebesar Rp. 1,2 milyar. Padahal kasus serupa di PN tangerang di vonis 3,5 tahun. Kasus ini semakin ramai karena keluarga Helmy mengaku menyetor ke jaksa Rp. 800 juta. Jaksa dan hakim pun saling tuduh. Toh penyelesaian kasus ini tidak jelas. Sejumlah aparat pajak yang diduga terlibat juga hanya dikenakan sanksi adminstrasi.

2.        Kesalahan “adminstrasi” petugas fiskal luar negeri.
Bermula dari laporan masyarakat tentang adanya praktek jual beli Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri ( SKBFLN ) oleh aparat pajak di Bandara Juanda pada tahun 2003. Kasus ini langsung mencuat karena liputan investigatif Harian Jawa Pos. Polda Jatim turun melakukan penyelidikan. Sejumlah aparat pajak KPP Surabaya Wonocolo  dan aparat imigrasi diperiksa. Hasilnya dari 5.000 orang yang mendapat SKBFLN di awal Juli 2003 ternyata ada 4.000 orang diduga tidak berhak mendapatkan SKBFLN. Mereka bisa mendapat SKBFLN karena membeli seharga Rp. 500 ribu.Tapi belakangan penyidikan kasus ini dihentikan karena dianggap ini hanya kesalahan admintrasi semata. Sejumlah aparat pajak yang diduga terlibat telah di mutasi. Diantaranya ke Jakarta

3.        Aparat pajak “dikirim” ke LP Nusakambangan
Januari 2003, polisi menahan Asriadi, pegawai pajak Kanwil Pajak Sulseltra  dan Iwan Zulkarnaen, pegawai kantor pos Makassar dalam kasus pemalsuan SSP milik PT. Semen Tonasa Rp. 40,913 milyar.
Sejumlah mobil mewah milik kedua tersangka juga disita. Setelah kasus ini disidangkan, keduanya dikirim ke LP Nusakambangan. Malang, disana Iwan Zulkarnaen dihabisi oleh Rio Martil, seorang terpidana yang divonis hukuman mati.

4.        Ledakan restitusi fiktif Galunggung
Ditengah sorotan tentang adanya dugaan restitusi pajak fiktif bernilai trilyunan, Kantor Pusat Ditjen Pajak mencium adanya praktek restitusi fiktif di KPP Bandung Karees yang dilakukan oleh PT. Galunggung Mega Sakti ( GMS ) sebesar Rp. 27 milyar. Kejahatan ini diaktori oleh Paulus, konsultan pajak di Mitra Utama Jasa Konsultan ( MUJK ). Menariknya di MUJK ada Djuju Djunaedi, mantan Kepala KPP Bandung Karees yang duduk sebagai direktur exsekutif. Paulus dan tiga anak buahnya diajukan ke meja hijau sementara aparat pajak hanya dianggap lalai dalam tugas.

5.        Empat bulan bobol 25 milyar
Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Faisal Siregar ( Kepala Kantor Pademangan Jakarta ) tak bisa menerima ucapan selamat dari sanak saudara atau kerabatnya. Polda Metro Jaya langsung menahannya. Sebelumnya empat bawahannya yaitu MNI, HS, HM dan SP telah ditahan terlebih dulu. Faisal,  disangka terlibat dalam persekongkolan restitusi pajak bermodus export fiktif ( export angin ). Kejahatan yang berlangsung pada Juli-Oktober 2005 itu diperkirakan telah membuat kas negara bobol Rp 25 miliar. Padahal, aksi ini diperkirakan sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Aparat pajak diduga menerima fee 15% s.d 25 dari pencairan restitusi. Polisi menduga praktek serupa terjadi di banyak kantor pajak besar. Kasus ini walau mendapat sorotan media tapi tak pernah tuntas penyelesaiannya. Faisal sendiri akhirnya bebas dari tahanan.


6.        Komisi jumbo hamba Allah
Kasusnya bermula dari temuan PPATK atas transfer uang sebesar US$ 500.000 ke rekening Yudi Haryadi di BNI Cabang Kerawang, seorang pemeriksa di Kanwil Pajak Khusus Jakarta, pada Maret 2007. Yudi yang Pengurus Cabang Muhammadiyah ( PCM ) Rengasdengklok memutuskan untuk membuat pesantren pada April 2007 dengan alasan memiliki sejumlah dana dari “ hamba Allah” yang tak mau disebutkan namanya. Uang itu diklaim sebagai milik PCM Rengasdeklok. Tapi uang itu disebar ke sejumlah pihak yang tak ada kaitannya dengan urusan PCM. Diantaranya R Handaru dan Agi Sugiono. Mereka adalah rekan dalam tim pemeriksaan pajak atas PT. First Media Tbk, perusahaan TV kabel swasta.
Polda Jabar yang saat itu dipimpin Susno Djuaji menyelidiki kasus ini. Kasus ini akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Ketiga pemeriksa pajak itu terbukti menerima “suap” dari PT. First Media yang saat itu bermasalah dengan setoran PPN.  Asri Harahap, mantan Kakanwil Pajak yang bertindak sebagai konsultan pajak membantah  menyuap para pemeriksa pajak. Ketiga pemeriksa pajak tersebut akhirnya divonis bersalah tapi proses hukum atas penyuapnya hingga kini tak ada khabar beritanya.
( bersambung )