Sabtu, 07 Januari 2012

Kasus-kasus Hukum Besar di Bidang Perpajakan I


Sejumlah kasus hukum di bidang perpajakan yang mendapat sorotan media massa nasional adalah sbb :

1.        Vonis bebas Delip dkk.
Tanggal 21 Maret 1994, Hakim PN Surabaya Sarwono memvonis bebas Delip, terdakwa kasus restitusi fiktif sebesar Rp. 900 juta. Vonis ini langsung menjadi sorotan media massa. Apalagi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Martoyo terang-terang menuduh hakim Sarwono telah disuap mobil corona absolute senilai Rp. 93 juta bernomor cantik L 25 SR  ( singkatan dari nama Sarwono ). Sebelumnya PN Surabaya juga memvonis bebas Helmy Nazar Machfud dan Soegiato alias A Keng dalam kasus yang sama. Helmy dituduh membobol restitusi pajak senilai Rp. 3,9 milyar sementara A Keng sebesar Rp. 1,2 milyar. Padahal kasus serupa di PN tangerang di vonis 3,5 tahun. Kasus ini semakin ramai karena keluarga Helmy mengaku menyetor ke jaksa Rp. 800 juta. Jaksa dan hakim pun saling tuduh. Toh penyelesaian kasus ini tidak jelas. Sejumlah aparat pajak yang diduga terlibat juga hanya dikenakan sanksi adminstrasi.

2.        Kesalahan “adminstrasi” petugas fiskal luar negeri.
Bermula dari laporan masyarakat tentang adanya praktek jual beli Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri ( SKBFLN ) oleh aparat pajak di Bandara Juanda pada tahun 2003. Kasus ini langsung mencuat karena liputan investigatif Harian Jawa Pos. Polda Jatim turun melakukan penyelidikan. Sejumlah aparat pajak KPP Surabaya Wonocolo  dan aparat imigrasi diperiksa. Hasilnya dari 5.000 orang yang mendapat SKBFLN di awal Juli 2003 ternyata ada 4.000 orang diduga tidak berhak mendapatkan SKBFLN. Mereka bisa mendapat SKBFLN karena membeli seharga Rp. 500 ribu.Tapi belakangan penyidikan kasus ini dihentikan karena dianggap ini hanya kesalahan admintrasi semata. Sejumlah aparat pajak yang diduga terlibat telah di mutasi. Diantaranya ke Jakarta

3.        Aparat pajak “dikirim” ke LP Nusakambangan
Januari 2003, polisi menahan Asriadi, pegawai pajak Kanwil Pajak Sulseltra  dan Iwan Zulkarnaen, pegawai kantor pos Makassar dalam kasus pemalsuan SSP milik PT. Semen Tonasa Rp. 40,913 milyar.
Sejumlah mobil mewah milik kedua tersangka juga disita. Setelah kasus ini disidangkan, keduanya dikirim ke LP Nusakambangan. Malang, disana Iwan Zulkarnaen dihabisi oleh Rio Martil, seorang terpidana yang divonis hukuman mati.

4.        Ledakan restitusi fiktif Galunggung
Ditengah sorotan tentang adanya dugaan restitusi pajak fiktif bernilai trilyunan, Kantor Pusat Ditjen Pajak mencium adanya praktek restitusi fiktif di KPP Bandung Karees yang dilakukan oleh PT. Galunggung Mega Sakti ( GMS ) sebesar Rp. 27 milyar. Kejahatan ini diaktori oleh Paulus, konsultan pajak di Mitra Utama Jasa Konsultan ( MUJK ). Menariknya di MUJK ada Djuju Djunaedi, mantan Kepala KPP Bandung Karees yang duduk sebagai direktur exsekutif. Paulus dan tiga anak buahnya diajukan ke meja hijau sementara aparat pajak hanya dianggap lalai dalam tugas.

5.        Empat bulan bobol 25 milyar
Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Faisal Siregar ( Kepala Kantor Pademangan Jakarta ) tak bisa menerima ucapan selamat dari sanak saudara atau kerabatnya. Polda Metro Jaya langsung menahannya. Sebelumnya empat bawahannya yaitu MNI, HS, HM dan SP telah ditahan terlebih dulu. Faisal,  disangka terlibat dalam persekongkolan restitusi pajak bermodus export fiktif ( export angin ). Kejahatan yang berlangsung pada Juli-Oktober 2005 itu diperkirakan telah membuat kas negara bobol Rp 25 miliar. Padahal, aksi ini diperkirakan sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Aparat pajak diduga menerima fee 15% s.d 25 dari pencairan restitusi. Polisi menduga praktek serupa terjadi di banyak kantor pajak besar. Kasus ini walau mendapat sorotan media tapi tak pernah tuntas penyelesaiannya. Faisal sendiri akhirnya bebas dari tahanan.


6.        Komisi jumbo hamba Allah
Kasusnya bermula dari temuan PPATK atas transfer uang sebesar US$ 500.000 ke rekening Yudi Haryadi di BNI Cabang Kerawang, seorang pemeriksa di Kanwil Pajak Khusus Jakarta, pada Maret 2007. Yudi yang Pengurus Cabang Muhammadiyah ( PCM ) Rengasdengklok memutuskan untuk membuat pesantren pada April 2007 dengan alasan memiliki sejumlah dana dari “ hamba Allah” yang tak mau disebutkan namanya. Uang itu diklaim sebagai milik PCM Rengasdeklok. Tapi uang itu disebar ke sejumlah pihak yang tak ada kaitannya dengan urusan PCM. Diantaranya R Handaru dan Agi Sugiono. Mereka adalah rekan dalam tim pemeriksaan pajak atas PT. First Media Tbk, perusahaan TV kabel swasta.
Polda Jabar yang saat itu dipimpin Susno Djuaji menyelidiki kasus ini. Kasus ini akhirnya dilimpahkan ke pengadilan. Ketiga pemeriksa pajak itu terbukti menerima “suap” dari PT. First Media yang saat itu bermasalah dengan setoran PPN.  Asri Harahap, mantan Kakanwil Pajak yang bertindak sebagai konsultan pajak membantah  menyuap para pemeriksa pajak. Ketiga pemeriksa pajak tersebut akhirnya divonis bersalah tapi proses hukum atas penyuapnya hingga kini tak ada khabar beritanya.
( bersambung )

Korupsi Anggaran di Ditjen Pajak

Selama ini korupsi di kantor pajak selalu indentik dengan kongkalingkong manupulasi pajak antara aparat pajak, konsultan pajak, pengadilan pajak dan tentu saja pengusaha. Padahal sebagaimana instansi lainnya, kantor pajak pun rawan dengan adanya praktek korupsi anggaran. Berbagai proyek-proyek di kantor pajak pun diisukan telah dikorupsi sebagaimana proyek di kantor pemerintahan lainnnya.
Isu itu semakin berhembus kencang sejak adanya reformasi di Ditjen Pajak. Reformasi birokrasi yang digulirkan pada tahun 2006 ( setelah dirintis tahun 2002 ), menuntut adanya modernisasi kantor pajak. Tak ayal triyunan rupiah pun digelontorkan untuk berbagai proyek pengadaan barang dan bangunan selain kenaikan gaji pegawai pajak sebesar ratusan persen.
Proyek-proyek modernisasi yang menelan dana besar contohnya pembangunan gedung-gedung kantor pajak baru, pengadaan ratusan mobil dinas  yaitu Suzuki APV dan KIA Carens II ( pada masa sebelumnya mobil dinas Ditjen Pajak adalah Kijang dan Panther, yang dikenal irit dan tak rewel ), pengadaan peralatan TI dan pembuatan jaringannya. Proyek yang spektakuler adalan pembangunan jaringan TI bernama PINTAR yang menelan dana US$ 145 juta ( pinjaman bank dunia ).
Salah satu proyek yang diduga terjadi mark up adalah proyek pengadaan alat sistem teknologi informasi di kantor pusat Ditjen Pajak pada tahun 2006 senilai Rp. 43 milyar. Hasil audit BPK menemukan adanya penyelewengan sebesar Rp. 12 milyar.
Pada 4 November 2011, Kejaksaan Agung telah menetapkan 2 orang pejabat Ditjen Pajak sebagai tersangka. Mereka adalah Bahar, Ketua Panitia Proses Pengadaan Sistem Informasi Manajamen dan tersangka kedua bernama Pulung Sukarno yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
Sebagai catatan, Pulung Sukarno sebelumnya pernah menjabat Kepala Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Surabaya Dua yang sempat membongkar kasus faktur pajak fiktif di tahun 2005 ( Alfian Firdaus dkk ). Kasus itu telah menyeret 4 pegawai pajak golongan II (, mantan cleaning service dan pegawai honorer kantor pajak ( baca Catatan harian Seorang Mafia Pajak ).
Dalam kasus korupsi proyek TI ini, Kejagung telah menggeledah empat lokasi yaitu Kantor Pusat Ditjen Pajak, Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Pajak di Jakarta Barat, dan dua lokasi rumah tersangka B di Jl Madrasah Gandaria Jakarta Selatan, serta Komplek Cinere, Depok, Jawa Barat.
Ditjen Pajak sendiri melalui juru bicaranya Dedi Rudaedi menyatakan mendukung langkah hukum yang dilakukan kejaksaan agung, namun akan tetap memberikan bantuan hukum kepada kedua tersangka sesuai ketentuan.
Terkuaknya kasus korupsi anggaran di Ditjen Pajak semakin menambah panjang kasus-kasus korupsi di Diten Pajak. Kasus pajak yang paling menonjol selain kasus kasus Gayus dan Bahsyim adalah kasus restitusi fiktif dan manipulasi fiskal luar negeri. Trilyunan uang negara menguap disini. Temuan BPK di tahun 2004, sepanjang periode 1999-2000 ada penyimpangan  restitusi pajak sebesar Rp 1,95 triliun. Padahal masih banyak kasus lain (  contoh : KPP Pademangan dan PHS ). Ekonom Drajat H Wibowo pada tahun 2007 pernah mengungkapkan ada potensi fiskal luar negeri ( FLN ) sebesar Rp. 1 trilyun yang raib pada tahun 2004-2006.  Sayang tak pernah ada penyelesaian yang tuntas atas kasus-kasus pajak tersebut.