Kamis, 16 Februari 2012

Kasus-kasus Hukum Besar di Bidang Perpajakan II


Sejumlah kasus hukum lain di bidang perpajakan yang mendapat sorotan media massa nasional adalah sbb :

1.        Nyanyian Tax Manager
Diakhir tahun 2006, Vincentius Amin Sutanto, top executive Finacial Controller Asian Agri bersama dua rekannya membobol rekening Asian Agri di Bank Fortis Singapura sebesar US$ 3,1 juta. Asian Agri adalah perusahaan milik Sukanto Tanoto, orang terkaya di Indonesia saat itu. Belum sempat uang dicairkan aksinya tercium. Vincent lantas kabur ke Singapura.
Dia mencoba meminta ampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Dalam pelariannya Vincent membawa data manipulasi pajak Asian Agri, maklum dia salah satu tax planning perusahaan itu. Vincent lantas menghubungi pihak Majalah Tempo. Wartawan Majalah Tempo menemuinya di Singapura, Vincent pun menjelaskan data indikasi manipulasi pajak Asian Agri lebih dari 1 trilyun rupiah. Pihak Majalah Tempo menghubungi KPK. Vincent dijemput pejabat KPK untuk pulang ke Indonesia.  Ternyata Polda Metro Jaya melacak keberadaan Vincent dan meminta KPK menyerahkan Vincent. Akhirnya Vincent pun diserahkan walau tanpa didampingi pengacara. Dirjen Pajak yang mendapat laporan kasus ini segera memerintahkan penyidikan kasus ini. Januari 2007, seiring laporan investigasi Tempo, kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan digrebek penyidik pajak. Sayang sejumlah besar data sudah tidak ditemukan. Tiga bulan kemudian penyidik pajak menemukan 1400 boks data yang lenyap di  ruko kawasan Duta Merlin. Total data yang disita 9 truk. Terungkap ada indikasi manipulasi pajak Rp. 1,3 trilyun. Dia mencoba meminta ampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Dalam pelariannya Vincent membawa data manipulasi pajak Asian Agri, maklum dia salah satu tax planning perusahaan itu. Vincent lantas menghubungi pihak Majalah Tempo. Wartawan Majalah Tempo menemuinya di Singapura, Vincent pun menjelaskan data indikasi manipulasi pajak Asian Agri lebih dari 1 trilyun rupiah. Pihak Majalah Tempo menghubungi KPK. Vincent dijemput pejabat KPK untuk pulang ke Indonesia.  Ternyata Polda Metro Jaya melacak keberadaan Vincent dan meminta KPK menyerahkan Vincent. Akhirnya Vincent pun diserahkan walau tanpa didampingi pengacara. Dirjen Pajak yang mendapat laporan kasus ini segera memerintahkan penyidikan kasus ini. Januari 2007, seiring laporan investigasi Tempo, kantor Asian Agri di Jakarta dan Medan digrebek penyidik pajak. Sayang sejumlah besar data sudah tidak ditemukan. Tiga bulan kemudian penyidik pajak menemukan 1400 boks data yang lenyap di  ruko kawasan Duta Merlin. Total data yang disita 9 truk. Terungkap ada indikasi manipulasi pajak Rp. 1,3 trilyun. Sayang proses hukum kasus ini berlarut-larut. Terdakwa dalam kasus ini Suwir Laut ( top executive Asian Agri ) pada tanggal 21 Mei 2011 dinyatakan bebas demi hukum karena masa penahanannya habis.

2.        Serangan untuk Bakrie
Bermula dari kenaikan laba PT. Bumi Resources pada tahun 2007 hingga 42%,  akibat kenaikan harga batu bara dan pemangkasan biasa produksi. Tahun 2008, Ditjen pajak melakukan pemeriksaan dan ditemukan dugaan rekayasa pajak sebesar Rp. 2,1 trilyun atas tiga perusaahan Bakrie . Mereka terdiri dari PT Kaltim Prima Coal ( KPC ) sebesar  Rp 1,5 triliun,  PT Arutmin Indonesia sebesar US$ 30,9 juta dan PT. Bumi sebesar Rp. 376 milyar.
Tanggal 4 Maret 2009, diterbikan Surat Perintah Bukti Permulaan. Pemeriksaan pajak pun ditingkatkan ke tahap penyidikan. KPC lantas menggugat surat perintah bukti permulaan tersebut. Rebertus Bismark, akuntan PT. KPC , dicekal. Pihak PT. KPC lantas menyetor pajak Rp. 828 milyar dan PT. Arutmin US$ 27,5 juta. Penyidikan atas KPC dan PT. Bumi terus berlanjut. Sementara untuk PT. Arutmin baru ditemukan bukti permulaan.
Pengadilan Pajak pada tanggal 8 Desember 2009 membatalkan surat perintah bukti permulaan. Ditjen pajak ajukan peninjauan kembali ( PK ) atas putusan ini ke MA. Penyidikan pajak tetap dilanjutkan. KPC mengugat Ditjen Pajak karena tak patuh pada putusan pengadilan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan ini. Ditjen Pajak menawarkan penghentian penyidikan asal mereka mau bayar pajak dan denda 400%.
Aroma politis pun berhembus karena saat itu Sri Mulyani berseteru dengan Abu Rizal Bakrie mulai dari kasus suspend  penjualan saham PT. Bumi di bursa saham hingga kasus Bank Century. Kasus pajak ini membuat Bakrie menunda rencana konversi utang menjadi saham yang diperkirakan bakal mendongkrak harga saham perusahaan Group Bakrie.

3.        Serangan untuk Sri Mulyani
Setelah Pansus Hak Angket Century merekomendasikan adanya dugaan penyelewengan dalam  bail out Bank Century, Menkeu Sri Mulyani tak habis mendapat serangan. Pasca serangan kasus Gayus, kini ia dituduh terlibat penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ( SKPP ) atas kasus manipulasi pajak Paulus Tumewu , pimpinan Ramayana Group. Tuduhan ini dilontarkan Sasmito Hadinagoro, Sekjen APPI ( Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia ) dalam rapat dengan komisi III di DPR.
Kasus Paulus Tumewu bermula pada tanggal 31 Agustus 2005, Polri dan Ditjen Pajak menahannya karena memanipulasi pajak dengan cara mengecilkan omzet Ramayana dan mengisi SPT tidak benar. Negara diduga dirugikan Rp. 399 milyar. Meskipun kasus ini telah dinyatakan lengkap untuk disidangkan ( P21 ) tapi atas permintaan Menkeu kasus ini dihentikan. Ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU KUP syaratnya wajib pajak harus membayar denda 400%. Tapi pertanyaan muncul karena SKPP diberikan karena Paulus Tumewu hanya membayar tunggakan pajak Rp. 7,99 milyar dan denda 400%. Padahal seharusnya membayar Rp. 399 milyar dan denda Rp. 1,6 trilyun. Hadi Purnomo yang saat itu menjabat Dirjen Pajak membatah keterlibatannnya karena SKPP wewenang Biro Hukum KemenkeuSetelah Pansus Hak Angket Century merekomendasikan adanya dugaan penyelewengan dalam  bail out Bank Century, Menkeu Sri Mulyani tak habis mendapat serangan. Pasca serangan kasus Gayus, kini ia dituduh terlibat penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ( SKPP ) atas kasus manipulasi pajak Paulus Tumewu , pimpinan Ramayana Group. Tuduhan ini dilontarkan Sasmito Hadinagoro, Sekjen APPI ( Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia ) dalam rapat dengan komisi III di DPR.
Kasus Paulus Tumewu bermula pada tanggal 31 Agustus 2005, Polri dan Ditjen Pajak menahannya karena memanipulasi pajak dengan cara mengecilkan omzet Ramayana dan mengisi SPT tidak benar. Negara diduga dirugikan Rp. 399 milyar. Meskipun kasus ini telah dinyatakan lengkap untuk disidangkan ( P21 ) tapi atas permintaan Menkeu kasus ini dihentikan. Ini sesuai dengan kewenangan yang diberikan Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU KUP syaratnya wajib pajak harus membayar denda 400%. Tapi pertanyaan muncul karena SKPP diberikan karena Paulus Tumewu hanya membayar tunggakan pajak Rp. 7,99 milyar dan denda 400%. Padahal seharusnya membayar Rp. 399 milyar dan denda Rp. 1,6 trilyun. Hadi Purnomo yang saat itu menjabat Dirjen Pajak membatah keterlibatannnya karena SKPP wewenang Biro Hukum Kemenkeu. Nama Fadel Muhammad , politisi Golkar yang saat itu Gubernur Goroltalo juga disebut-sebut dalam kasus karena memberikan surat “rekomendasi” jika Paulus T adalah pengusaha yang punya track record baik.

4.        Gebrakan KPK
Pada Januari 2010, KPK menahan Kakanwil Sulsel Edi Setiadi dalam kasus suap dari  Umar Sjarifudin Dirut PT. Bank Jabar. Eddi saat menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bandung  menerima gratifikasi Rp 2,55 miliar dari Umar Sjarifudin sebagai imbalan atas pengurangan jumlah pajak kurang bayar Bank Jabar tahun buku 2002. Dari seharusnya Rp. 51,80 milyar menjadi Rp. 7,27 milyar.
Empat bawahan Eddi yang juga menikmati gratifikasi itu juga di ajukan ke pengadilan. Mereka adalah Roy Yuliandri (Ketua Tim), Dedy Suwardi (Supervisor) dan Muhammad Yazid (Anggota).
Eddi Setiadi dikenal sebagai pejabat pajak dengan banyak prestasi di bidang penyidikan pajak. Kasus yang diungkap diantaranya kasus faktur pajak fiktif di Tebet, Jakarta senilai 55 milyar dengan tersangka Abdul Chalik dan kasus serupa di Solo dengan tersangka HW, pengusaha asal Mojokerto.
Eddi Setiadi adalah pejabat pajak eselon II pertama yang pernah diadili, sebelumnya sejumlah pejabat menengah dan tinggi selalu tak tersentuh hokum.

5.        Kasus faktur fiktif lagi
Beberapa hari menjelang lengser, Sri Mulyani menggelar konfrensi press. Ini berkaitan dengan skandal faktur pajak fiktif senilai Rp. 607 milyar. Skandal ini dilakukan oleh Group PHS senilai Rp. 300 milyar, konsultan pajak tidak resmi berinisial SOL sebesar Rp. 247 milyar dan biro jasa berinisial W dipimpin oleh TKB dengan nilai sebesar Rp. 60 milyar. Ketiga skandal ini telah masuk tahap penyidikan pajak.
Pernyataan ini lantas dibantah oleh Group PHS. Melalui pengacaranya, mereka malah mengkalim punya tunggakan restitusi pajak sebesar Rp. 530 milyar selama tiga tahun yang hingga kini belum cair. Setelah Sri Mulyani lengser, kasus ini sempat dibawa PHS ke DPR. Hingga kini belum ada khabar penyelesaiannya secara tuntas.

6.        Bisnis sukses ala Bahasyim
Bermula dari temuan transaksi mencurigakan pada Maret 2009 oleh PPATK tentang aliran dana sebesar Rp. 64 milyar di rekening Bahasyim Assyifie, seorang pejabat eselon II di Bapenas. Bahsyim masuk Bapenas Mei 2008, sebelumnya adalah pejabat eselon III di Ditjen Pajak. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, KPP Jakarta Palmerah dan KPP Jakarta Koja.
Kasus ini sudah dilaporkan ke Mabes Polri, tapi penyelidikannya terhenti tanpa alasan yang jelas. Saat kasus Gayus meledak, kasus ini dilaporkan Satgas Pemberantara Mafia Hukum ke presiden. Muncul tudingan balik kepada Susno mempetieskannya, karena saat itu dia menjabat Kabareskrim. Kasus ini pun lantas diserahkan kepada Polda Metro Jaya.[e1] . Bahasyim dijadikan terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang. Berdasarkan penyidikan lebih lanjut ditemukan transaksi tidak wajar ( mutasi rekening ) sebesar Rp. 932 milyar. Bahsyim lewat pengacaranya membantah jika uang ini hasil korupsi tapi adalah hasil bisnis sampingan. Memang sebagian besar transaksi itu ditemukan di rekening PT. Tri Dharma Perkasa milik keluarga Bahasyim dan rekening istri serta anaknya. Tapi Suminarto Basuki, mantan atasannya dalam kesaksiannya mengaku jika tak tahu bawahnnya memiliki bisnis sampingan. Sementara Amrizaman mantan atasan Bahsyim tahun 2007-2008, memberikan kesaksian meringankan dengan menyatakan Bahsyim memiliki kinerja baik.
Bahsyim dituntut 15 tahun penjara dan akhirnya divonis 7 tahun penjara. Dalam persidangan tidak diungkap dengan gamblang asal aliran dana dan kemana mengalirnya dana tersebut. Jaksa hanya mengungkap asal uang sebesar Rp. 1 milyar dari “memeras “ Konglomerat Kartini Mulyadi.

 [e1]Walau ini bersumber dari detik.com tapi setelah saya teliti kurang valid.